SESUNGGUHNYA, misi Bissu adalah Eceng Lino atau kebaikan dunia. Untuk mencapainya, jangan berhenti bersekolah (belajar) atau “Aja’ Mappesau Massikola”. Kebahagiaan di dunia diperoleh bila kita tidak berhenti belajar.
INI mengemuka pada seminar kebudayaan bertajuk “Bissu di Tengah Gelombang Perubahan, Mengangkat Citra Orang Bugis-Makassar”. Seminar berlangsung di studio mini Harian FAJAR, Sabtu, 25 Agustus.
Kegiatan ini digelar Yayasan Karaeng Pattingaloang Gowa bekerja sama Pusat Penelitian Budaya dan Seni Etnik Sulawesi Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar, Forum Pembauran Kebangsaan Sulawesi Selatan, dan Harian FAJAR.
Seminar menghadirkan empat orang pembicara, Ketua Pusat Penelitian Budaya dan Seni Etnik Sulawesi Lembaga Penelitian UNM, Dr Halilintar Lathief, Ketua Forum Komunitas Waria Sulsel, Daeng Fitri, Bissu Haji Lolla, dan satu-satunya Bissu perempuan, Mattemmi.
Guru Besar UNM Prof Jufri juga hadir pada seminar yang juga diikuti perwakilan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan sejumlah mahasiswa dan pemerhati budaya Sulsel.
Redaktur Budaya Harian FAJAR, Basri didaulat sebagai moderator mengatakan, bissu adalah aset kebudayaan yang mesti dijaga. “Inilah yang kita ingin diskusikan bagaimana agar keberadaan bissu bisa kita jaga. Diskusi, atau mappasilolongang ada’ hari ini cukup unik karena ini berkaitan erat dengan budaya Sulsel,” katanya.
Dr Halilintar selaku pembicara pertama menyampaikan bahwa saat ini jumlah komunitas Bissu lebih dari 40 persen telah tiada. Kehadiran awal Bissu, kata dia, ada bermacam pendapat. “Ada yang mengatakan berasal dari agama Hindu. Namun, menurut saya, Bissu dalam tradisi Bugis berbeda. Bissu berasal dari kata Bassi,” katanya.
Bissu sekarang ini, lanjut dia, mulai identik dengan waria, tapi sebenarnya bissu juga banyak dari kalangan wanita. “Ada juga Bissu Patudang. Di Bone, Bissu Patudang adalah bissu bangsawan. Dalam Sureq La Galigo dijelaskan bahwa salah satu sepupu Sawerigading adalah seorang bissu.
Bissu juga berarti ahli. Dulu, fungsinya juga adalah penasehat kerajaan,” terang dosen fakultas seni UNM ini.
Pembicara kedua, Ketua Forum Komunitas Waria Sulsel, Daeng Fitri menilai Waria seperti halnya bissu punya potensi jika diarahkan ke hal positif. Dengan berpakaian muslim layaknya ustaz, Daeng Fitri menyampaikan, organisasi Waria tempatnya bernaung didirikan pada 18 April 1986 di Bulukumba.
“Di sana waktu itu, waria memang dibutuhkan. Berbicara tentang waria, masih banyak yang kontra dengan waria. Konsep Sulsel, waria merupakan bissu. Kondisinya sekarang waria pada umumnya dianggap manusia mainan. Padahal tidak semuanya negatif. Bahkan di komunitas ini, kami mengarahkan agar waria memaksimalkan potensinya,” katanya.
Bissu, lanjut Daeng Fitri, dulunya merupakan penghubung dewata winae dengan raja. “Tentang bissu sekarang memang telah mengalami banyak perubahan karena perubahan pola pikir masyarakat,” kata dia.
Haji Lolla, bissu yang telah berusia 50 tahun dan masih tampak awet, menjelaskan bagaimana dia terlihat tetap awet. Salah satunya, kata dia, mengamalkan beberapa pesan islami dari orang tuanya.
“Antara lain saat keluar rumah membaca doa Bismillahi Tawakkaltu Alallahu Laa Hawla Walaquata Illa Billah,” ujar dia, sambil menyampaikan beberapa kebiasaan positifnya yang berkaitan dengan doa-doa islami.
Mattemmi, bissu yang asli perempuan, menjelaskan secara singkat tentang tujuan manusia hadir di bumi. Dalam bahasa Bugis kental, dia berpesan bahwa kita hadir di dunia agar bagaimana dunia ini bisa lebih baik. Bukan untuk merusaknya.
Prof Jufri mengaku bangga bisa bertemu langsung dengan bissu. Menurutnya, bissu bagian dari aset budaya Sulsel.
Dia menambahkan, jika kita membaca literatur, lebih banyak termaktub tentang budaya barat. Sementara kita membutuhkan pelestarian budaya kita sendiri. (*)
sumber : fajar.co.id
1 May 2023
8 March 2023
27 February 2023
1 February 2023
23 January 2023