Ourvoice.or.id. Setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Biasanya ditandai dengan berbagai kegiatan yang “mencirikan” kegiatan perempuan, yaitu lomba memasak, memakai kebaya, merias, dan lain-lain. Hal yang hampir sama dilakukan pada Hari Kartini. Hari Ibu kemudian lebih dimaknai tentang peran perempuan sebagai istri dan ibu, ideologi yang disebut Julia Suryakusuma sebagai “ibuisme negara”, khususnya yang menyangkut peran dan fungsi sebagai istri dan ibu.
Pada masa Orde Baru ideologi ini diinternalisasikan dalam kebijakan negara. Salah satunya adalah mendirikan berbagai organisasi perempuan yang dianggap dapat membantu negara di dalam pembangunan, seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita. Kedua organisasi ini khusus beranggotakan kaum ibu dan istri yang memfokuskan diri pada peran dan kepentingan domestik perempuan. Konsekuensinya, meski dianggap bermanfaat bagi masyarakat, justru memperkuat proses domestikasi kaum perempuan. Dampaknya bila ditinjau dari sudut pandang kaum perempuan adalah memfokuskan peran dan fungsi kaum perempuan hanya pada ranah (domain) domestik atau rumah-tangga saja (Ery Seda, Seminar Ibuisme, Kalyanamitra 2008).
Sejarah penetapan Hari Ibu tidak terlepas dari Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Kaum perempuan Indonesia terpanggil untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Untuk itu, pada 22 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan di Yogyakarta. Kongres Perempuan pertama ini diprakarsai tiga perempuan, yaitu Nyi Hajar Dewantara (kemudian masih disebut Ny. Suwardi), Nona Sujatin yang mengajar di Taman Siswa, dan Ny. Sukonto dari Wanita Oetomo.
Ada banyak persoalan yang dibicarakan dalam kongres tersebut terkait dengan kondisi perempuan saat itu. Antara lain, pendidikan perempuan, nasib anak-anak yatim dan janda, perkawinan anak, reformasi aturan-aturan perkawinan dalam agama Islam, pentingnya harga diri lebih tinggi di kalangan perempuan, buruknya kawin paksa, dan poligami.
Untuk mewadahi perjuangan tersebut, dibentuk federasi yang mandiri dengan nama Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI) yang kemudian berubah nama pada tahun 1929 menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). PPI merupakan organisasi perempuan nasional pertama dengan 20 organisasi sebagai anggota. Organisasi ini menerbitkan media perempuan berkala, yaitu Istri. Sampai pada tahun 1935 federasi ini sudah menunjukkan kiprah secara luas. Di antaranya ikut serta dalam Badan Pemberantasan Buta Huruf dan Badan Perdagangan Perempuan dan Anak. Organisasi ini dalam perjalanannya mengalami perubahan akibat pergolakan politik yang tajam dan saat ini bernama KOWANI (Pengancuran Gerakan Perempuan, Saskia E. Wieringa, 2010).
Pemaknaan Keliru
Jika melihat ke belakang apa yang terjadi pada 22 Desember 1928, ada semacam kekeliruan pemaknaan pada peristiwa yang terjadi. Seharusnya 22 Desember menjadi sebuah sejarah dalam gerakan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang tidak hanya sebagai seorang istri dan ibu (yang dimaknai sebagai peran ibu rumah tangga — domestik).
Hingga saat ini berbagai persoalan yang dibicarakan dalam Kongres Perempuan I 22 Desember 1928 masih dialami perempuan Indonesia. Kasus poligami, kawin paksa, pernikahan anak, pendidikan perempuan, kekerasan terhadap perempuan merupakan sederet persoalan yang hingga kini terus dihadapi perempuan Indonesia.
Salah satu kasus yang saat ini ramai dibicarakan masyarakat dan media di seluruh Indonesia ialah tindakan sewenang-wenang dan tidak berperikemanusiaan Bupati Garut Aceng Fikri, yang menikahi anak di bawah umur tanpa pencatatan pernikahan secara resmi atau nikah siri (menikah di bawah tangan), kemudian menceraikan hanya melalui SMS dalam waktu empat hari setelah pernikahan.
Apa yang dilakukan bupati itu melanggar undang-undang Republik Indonesia, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297 tentang kejahatan perkawinan, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Bupati Garut itu bukan satu-satunya kepala daerah yang melanggar hukum dan norma sosial serta melakukan kekerasan terhadap perempuan. Bersamaan dengan terkuaknya kasus Aceng Fikri, terkuak pula kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan Wakil Wali Kota Magelang Joko Prasetyo.
Poligami menjadi salah satu yang banyak dilakukan para pejabat publik/negara, baik kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPR pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, maupun pejabat publik lainnya. Banyak pejabat publik melakukan poligami. Mereka adalah Deny Ramdhani, anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Ruhut Sitompul, anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat, Bupati Cirebon, Wali Kota Singkawang, Wali Kota Bogor, dan masih banyak lagi.
Demikian juga dengan kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, selama tahun 2011 terjadi lebih dari 119 ribu kasus kekerasan yang dialami perempuan Indonesia. Data Komnas Perempuan dan juga persoalan poligami yang saat ini menjadi tren dikalangan pejabat publik menunjukkan masalah-masalah yang telah dibicarakan dalam Kongres Perempuan I tahun 1928 hingga kini masih belum bergeser.
Untuk itu, seharusnya pemaknaan 22 Desember tidak hanya menjadi seremonial dengan mengembalikan peran perempuan ke wilayah domestik. 22 Desember seharusnya dimaknai bersama-sama sebagai kebangkitan perempuan. Membicarakan hak-hak perempuan untuk melawan ketidakadilan. Meneruskan semangat Kongres Perempuan I menjadi sangat penting, mengingat hingga kini ketidakadilan masih dialami banyak perempuan Indonesia. (E4)
Penulis : Joko Sulistyo, Divisi Kajian dan Pengembangan Kalyanamitra
Sumber : http://www.vhrmedia.com
1 May 2023
8 March 2023
27 February 2023
1 February 2023
23 January 2023