28 June 2022
  • Sitemap
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • youtube
  • twitter
  • facebook

SuaraKita

  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Internasional
    • Liputan
    • Siaran Pers
  • Event
  • Cerita
  • Opini
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Foto
  • Video
  • Referensi
    • Buku
    • Film
    • OV Zine
You Are Here: Home » Opini » Sang Liyan Dalam Buaian Narasi Agung

Sang Liyan Dalam Buaian Narasi Agung

Posted by :Alumni SK Posted date : 16 May 2013 In Opini Comments Off on Sang Liyan Dalam Buaian Narasi Agung
Dewi Candraningrum (Foto: Yatna Pelangi/Ourvoice)

Dewi Candraningrum
(Foto: Yatna Pelangi/Ourvoice)

Ourvoice.or.id- Narasi agung mengandaikan dalam dirinya keidealan. Ketika manusia memiliki penis maka idealnya dia menjadi lelaki bukan perempuan. Narasi agung, menurut Dewi Candraningrum, akan melahirkan sang liyan begitu katanya dalam kuliah umum bertajuk Kelahiran Sang Liyan Dalam Hierarki Seksualitas; Seni dan Pembebasan, pada Rabu,15 Mei 2013, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Liyan adalah sesosok yang dianggap aneh, abnormal dan tidak umum. Narasi agung  ini berbahaya, karena ketika Hitler menganggap hanya ras Arya yang paling agung, maka ras lain dianggap rendah dan boleh diperlakukan apa saja; boleh diperbudak, boleh dibunuh, boleh didikriminasi.

Dalam konteks seksualitas, narasi agung menyatakan bahwa lelaki itu pemimpin bagi perempuan. Kemudian perempuan menjadi sang liyan, kemampuan kepemimpinannya diragukan bahkan bila ada perempuan yang ingin menjadi pemimpin terkadang tidak diperbolehkan. Begitupun dengan relasi seksual. Yang diagungkan adalah heteroseksual, jadi bila ada manusia berelasi homoseksual dianggap salah, hina, aneh dan memalukan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ternyata dalam seksualitas pun ada hierarkinya. Kelas sosial ternyata tidak hanya dibangun dari tingkat ekonomi tetapi juga dari seksualitasnya, ungkap Dewi.

Seringkali argumen untuk menolak kelompok homoseksual adalah karena homoseksual bukan  budaya Indonesia. “Lalu bagaimana dengan budaya Warok-Gemblak? Budaya itu dari mana ya?” tanya Dewi. Dalam masyarakat tradisional, keberadaan homoseksual tidak sungguh sungguh diliyankan. Dalam budaya Reog, relasi Warok-Gemblak diniscahyakan sebagai sesuatu yang spiritual. Penyangkalan seperti ini dikarenakan Indonesia sebagai negara yang lahir di era modern mengadopsi total sistem seksualitas Eropa, yang sangat Freudian, yang sangat heteronormatif. Seksualitas ala Freudian ini mendapat dukungan dari agama-agama Semit yang kemudian sukses “membumi-hanguskan” keberagaman seksualitas di Indonesia.

Dalam makalahnya Dewi pun menyimpulkan bahwa kesetaraan antar manusia, mau tidak mau, harus dimulai dari kesetaraan seksual. Dan kesetaraan seksualitas  merupakan salah satu penanda utama dalam semangat kebebasan yang adil dan memerdekakan. Dan darinya distribusi kekuasaan, representasi, otoritas dan otonomi seharusnya menjadi hak kaum liyan. (Gusti Bayu)

Makalah Lengkap dapat diunduh disini

Share Button
Tags
Dewi CandraningrumGayGusti BayuHeadlineIndonesiaOurvoice
tweet
Komnas Perempuan: Kekerasan Seksual Pada Mei 98 Tak Boleh Disangkal
Siaran Pers Our Voice: Peringatan IDAHO 17 Mei 2013

Related posts

  • Dapatkah Orientasi Seksual Berubah?

    Dapatkah Orientasi Seksual Berubah?

    30 May 2022

  • Racun Maskulinitas

    Racun Maskulinitas

    24 May 2022

  • Menegaskan Identitas Transgender Lebih Dari Sekadar Kesopanan

    Menegaskan Identitas Transgender Lebih Dari Sekadar Kesopanan

    3 March 2022

  • Religiusitas dan Spiritualitas Gender Minoritas di Indonesia: Kontras antara Hak Hukum dan Realitas

    Religiusitas dan Spiritualitas Gender Minoritas di Indonesia: ...

    24 January 2022

  • Mempertanyakan Niat: Pemerintah Indonesia Tidak Berkomitmen untuk Menghapus Kekerasan Seksual

    Mempertanyakan Niat: Pemerintah Indonesia Tidak Berkomitmen untuk ...

    15 November 2021

  • youtube
  • twitter
  • facebook
© Copyright 2014, All Rights Reserved.