5 March 2021
  • Sitemap
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • youtube
  • twitter
  • facebook

SuaraKita

  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Internasional
    • Liputan
    • Siaran Pers
  • Event
  • Cerita
  • Opini
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Foto
  • Video
  • Referensi
    • Buku
    • Film
    • OV Zine
You Are Here: Home » Opini » Foucault 2.0; Seksualitas Kita dan Penjara Tanpa Terali

Foucault 2.0; Seksualitas Kita dan Penjara Tanpa Terali

Posted by :Alumni SK Posted date : 30 September 2014 In Opini 0
Sistem Panopticon Penjara (Sumber: http://alephjournal.files.wordpress.com/2012/03/panopticon.jpg)

Sistem Panopticon Penjara
(Sumber: http://alephjournal.files.wordpress.com/2012/03/panopticon.jpg)

Oleh : Tanti Noor Said*

Suarakita.org- Apakah masyarakat di Eropa Barat ataupun Amerika Serikat mulai berjalan mundur menuju konservativisme dalam kebebasan seksual?

Secara garis besar, inilah tema dari pembukaan kuliah Gender dan Seksualitas yang sempat saya hadiri beberapa hari lalu. Tema yang untuk saya tidaklah mengagetkan. Sangat bombastis untuk mahasiswa program sarjana, master sampai dengan doktoral yang sedang menggeluti tema seksualitas, kesetaraan jender, postkolonialisme sampai dengan globalisasi. Tapi tema ini sudah lama tercecer dimana-mana, dalam berbagai silabus kuliah seksualitas yang telah saya ikuti selama tiga tahun belakangan ini. Mungkin juga lebih. Jadi, bukanlah penemuan baru.

Itu sebabnya saya tidak terlalu terkejut, meskipun turut hanyut dalam arus eforia ketika tema ini dijadikan pembuka dalam studi seksualitas di banyak universitas di Eropa Barat ataupun Amerika Serikat. Trend. Lintas budaya menyorot perihal seksualitas dari Asia, Eropa, Amerika dan negara-negara Islam misalnya.

Mudah bagi kita untuk terus menerus menggunakan argumentasi post kolonialisme. Atau menyalahkan argumentasi bahwa barat saat ini menuju kemundurannya, ketika dunia yang katanya timur itu konservatif dan berjuang keras menuju liberalisme.

Frustasi saya yang giat mengikuti berbagai debat sirkulasi budaya, barat dan timur, mengusung-usung prinsip Edwards Said mengenai orientalisme, menjadikan saya begitu muak pada trend yang ada. Bukankah kita belajar untuk menjadi kritis dan bertanya akan adakah kemungkinan-kemungkinan lain. Jika tidak, maka kita tidak berbeda satu sentimeterpun dengan penganut puritan fanatik yang mengandalkan kepercayaan pada surga dan neraka.

Namun benar, argumentasi Foucault mengenai kekuasaan, masih terus dapat kita gunakan. Dalam konteks masyarakat manapun. Bukan hanya untuk memprotes elitis Viktorian. Namun juga keberatan saya pada para fanatik pengikut Prabowo dan Jokowi. Untuk tidak lengah dan memberikan hak untuk berkuasa semena-mena, dikarenakan kepercayaan kita kepada sesosok figur yang kita pikir dapat dipertanggungjawabkan tindakannya dengan ukuran moral yang kita setujui. Belum lagi kepercayaan kita kepada kebenaran yang absolut. Baik dari sisi liberal, democrat, maupun konservatif.

Jangan lupa, seksualitas adalah sebuah bentuk produk yang paling rentan atau fragile, dikarenakan tabu, kemistikan dan misteri yang dikandungnya. Tetapi dunia akademik membelejeti seksualitas habis-habisan, untuk membongkar tabunya. Kemudian diubah menjadi sesuatu yang lebih ilmiah, tanpa misteri dan emosi. Apakah kita yang bermain-main pada tingkat ilmiah tidak serta-merta melembagakan seksualitas yang kenyataannya memang mengandung naluri kebinatangan yang mengindahkan logika?

Tujuan tulisan ini jauh dari edukasi. Tetapi keinginan untuk mempertanyakan, apakah kita selama ini cukup kritis sebagai individu yang memberikan suara dan kekuasaan kita atas tubuh dan naluri kita yang bebas kepada orang-orang yang kita pikir dapat memperjuangkan hak-hak kita yang kita pikir berbahaya ketimbang diri kita sendiri.

Foucault 2.0 adalah sebuah tema yang melihat dan menemukan, dengan hilangnya tabu-tabu yang melekat pada seksualitas, ternyata masih saja penguasa menancapkan kukunya pada ranah penuh misteri ini. Hukum perlindungan seksual anak, perempuan, yang mengusung agenda terselubung dari rejim patriarki. Penjara tanpa terali. Beranjau meski dalam banyak bentuk lain yang menyelimur.

*Penulis adalah seorang antropolog lulusan  Universitas Amsterdam, Belanda.

Share Button
Tags
Cerita Gay IndonesiaFoucaultlgbt indonesiaSeksualitasSeksualitas IndonesiaSuara KitaTanti Noor Said
tweet
Pemutaran dan Diskusi Film “Plantungan”: Ketika Mantan Tahanan PKI Bergulat dengan Ketidakadilan
Transgender Malaysia Hidup Dalam Ketakutan

Related posts

  • Tausiyah HIV

    Tausiyah HIV

    10 February 2021

  • ‘Keluarga’ di Korea Selatan Harus Termasuk Pasangan Sesama Jenis

    ‘Keluarga’ di Korea Selatan Harus Termasuk Pasangan ...

    8 February 2021

  • Gay Transman Dan Lesbian Transpuan

    Gay Transman Dan Lesbian Transpuan

    28 December 2020

  • Kongres Perempuan Dan Ideologi Pakaian

    Kongres Perempuan Dan Ideologi Pakaian

    22 December 2020

  • Berantas FPI, Polisi Kerja Profesional

    Berantas FPI, Polisi Kerja Profesional

    11 December 2020

Leave a Comment

Click here to cancel reply.

Populer

  • Minang Bukan Islam,Begitu Sebaliknya (Sebuah Tanggapan)

    Minang Bukan Islam,Begitu Sebaliknya (Sebuah Tanggapan)

    4 January 2013
  • Surat Terbuka Kepada Fahira Idris

    20 March 2013
  • Komunitas Gay Protes Pernyataan Khofifah Indar Parawansa

    6 July 2012
  • [Kisah] Aku Seorang Asexual

    [Kisah] Aku Seorang Asexual

    29 October 2015
  • <!--:id-->Ada yang “tidak beres” dengan kritikan Juri Indonesian Idol 2012<!--:-->

    Ada yang “tidak beres” dengan kritikan Juri Indonesian Idol 2012

    5 April 2012
  • youtube
  • twitter
  • facebook
© Copyright 2014, All Rights Reserved.