28 June 2022
  • Sitemap
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • youtube
  • twitter
  • facebook

SuaraKita

  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Internasional
    • Liputan
    • Siaran Pers
  • Event
  • Cerita
  • Opini
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Foto
  • Video
  • Referensi
    • Buku
    • Film
    • OV Zine
You Are Here: Home » Berita » Liputan » [Liputan] Bincang Tokoh Bersama Erasmus Napitupulu

[Liputan] Bincang Tokoh Bersama Erasmus Napitupulu

Posted by :Esa Posted date : 29 November 2016 In Liputan Comments Off on [Liputan] Bincang Tokoh Bersama Erasmus Napitupulu

15231721_10154755403032290_115346665_oSuaraKita.org – Tanggal 26 November 2016 lalu, Suara Kita menghadirkan Erasmus Napitupulu dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) untuk membicarakan dimana posisi hukum pidana untuk kelompok minoritas, khususnya pada LGBT.

“Apakah hukum pidana kita dirancang khusus untuk melindungi hak-hak kelompok LGBT? Adakah dalam KUHP undang-undang yang secara khusus melindungi kelompok LGBT? Itu pertanyaan yang paling mendasar.” Tutur Sarjana lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung ini.

Menurut analisis Erasmus, undang-undang anti diskriminasi yang kita punya sekarang masih menggunakan pola pikir kebergaman ras, “Jadi memang ada perbedaan sedikit. Jadi diskriminasi yang di undang-undang itu konteksnya ras. Bukan identitas seksual.”

“Berikutnya, apakah KUHP kita mengakui kehadiran LGBT? Pertama, saya akan bilang bahwa KUHP ini buatan Belanda. Belanda, pada saat itu, LGBT tidak dikenal sebagai golongan, melainkan hanya aktifitas seksual. Pemikiran kuno ini sebenarnya masih terbawa sampai saat ini. Orang-orang memahami konteks LGBT hanya sepanjang aktifitas seksual. Ini menjadi persoalan karena ini adalah pemikiran lama.”

“Jadi sebenarnya peraturan yang melindungi anak dari perbuatan sesama jenis itu adalah untuk melindungi anak dari perbuatan yang sifatnya non-heteroseksual. Karena logikanya dulu itu, jika cabul dengan seseorang, sudah dipastikan pencabulan itu dengan lawan jenis. Jadi undang-undang tersebut bukan melindungi anak-anak dari orang-orang dengan identitas homoseksual, tetapi dari perilaku seksual homoseksual. Sederhananya, peraturan itu tidak ditujukkan untuk ‘identitas homoseksual’ melainkan untuk ‘perilaku homoseksual’. Pertanyaan berikutnya, apakah perilaku homoseksual ini hanya dilakukan oleh orang yang homoseksual? Dan setelah itu, bagaimana cara pembuktiannya?”

Iman, salah satu peserta kita menjawab pertanyaan tersebut, “Banyak kasus mereka dipukuli terlebih dahulu supaya mengaku.”

“Di Aceh, kebanyakan kasus seperti itu. Kalo menurut saya, logika sederhananya, jika digrebek dan tidak terbukti salah, tuntut balik saja ke negara. Jadi menurut saya, mengapa pasal itu akan menjadi pasal mati karena saya gak bisa membayangkan bagaimana cara polisi dan jaksa membuktikannya. Pemerkosaan itu sulit untuk dibuktikan, kita harus benar-benar melihat adanya penetrasi yang terjadi.” Tutur Erasmus.

Penanya lain bernama Kartika mengatakan, “Penggrebekan itu sendiri kan sebenarnya mengganggu privasi kita, ya? Kita kan punya hak untuk mempunyai privasi.”

Pertanyaan berikutnya muncul dari iman lagi, “Sejauh mana sih negara itu boleh masuk ke ranah privasi seseorang?”

“Dalam hukum pidana, negara bisa menarik ruang privasi menjadi ruang publik. Caranya adalah dengan mengkriminalisasi sebuah perbuatan. Contohnya undang-undang pornografi, ketika merekam hubungan badan yang awalnya bukan pidana, dan kemudian dinyatakan sebagai pidana, maka negara punya kewenangan untuk masuk ke dalam privasi warga negara itu. Maka dari itu dalam keputusan MK disebutkan, ‘sepanjang untuk kebutuhan pribadi, maka tidak bisa dipidanakan’. Tapi kemudian pertanyaannya, sejauh mana suatu perbuatan itu sehingga bisa dikriminalisasikan? Banyak teori tentang ini, namun pada dasarnya adalah, harus ada korban. Semakin minim korbannya, maka kebutuhan mengkriminalisasi itu menajdi tidak penting. Intinya adalah, kalau misalkan perbuatan itu sifatnya sangat privasi, lalu tidak ada kebutuhan dan tidak ada tujuan untuk apa dia dikriminalisasi,  maka kriminalisasi itu tidak diperlukan. Maka harus ditanya dulu, tujuan mengkriminalisasikan sebuah perbuatan itu apa? Ini yang selalu gagal dijawab oleh pemerintah.” Jawab Erasmus.

“Ketika kriminalisasi tidak dibutuhkan, maka di situ ada ruang privat yang dikembalikan. Karena semakin banyak aturan pidana, maka semakin banyak pula warga negara yang dibatasi. Banyak orang yang ingin mengkriminalkan segala hal, sebenarnya dia sedang mempertaruhkan lehernya sendiri, sadar atau tidak sadar.” (Esa)

Share Button
Tags
Bincang TokohHukumHukum dan HAMliputanPersidanganSuara KitaWisesa Wirayuda
tweet
[Liputan] 10 Tahun Prinsip-Prinsip Yogyakarta: Masih Adakah Harapan?
[Liputan] Road Show Film Bulu Mata Ke-4

Related posts

  • Program Pulih Bersama, Vaksinasi Covid-19 untuk Kelompok Masyarakat Rentan

    Program Pulih Bersama, Vaksinasi Covid-19 untuk Kelompok ...

    15 June 2022

  • Memahami SOGIESC Sama Dengan Menciptakan Lingkungan Yang Aman Untuk Semua Orang

    Memahami SOGIESC Sama Dengan Menciptakan Lingkungan Yang ...

    27 April 2022

  • Belajar SOGIESC, Memahami Keragaman Gender Dan Seksualitas Di Dunia Penuh Warna

    Belajar SOGIESC, Memahami Keragaman Gender Dan Seksualitas ...

    25 April 2022

  • Menciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif untuk Kelompok Marginal

    Menciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif untuk Kelompok ...

    5 January 2022

  • Belajar Menciptakan Lingkungan Kerja Yang Inklusif Dari ADB

    Belajar Menciptakan Lingkungan Kerja Yang Inklusif Dari ...

    30 December 2021

  • youtube
  • twitter
  • facebook
© Copyright 2014, All Rights Reserved.