9 March 2021
  • Sitemap
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • youtube
  • twitter
  • facebook

SuaraKita

  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Internasional
    • Liputan
    • Siaran Pers
  • Event
  • Cerita
  • Opini
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Foto
  • Video
  • Referensi
    • Buku
    • Film
    • OV Zine
You Are Here: Home » Berita » Internasional » Sains Menunjukkan Bahwa Besar Kemungkinan Seorang Homofobik Adalah Gay

Sains Menunjukkan Bahwa Besar Kemungkinan Seorang Homofobik Adalah Gay

Posted by :katumiri Posted date : 17 June 2017 In Internasional 0

SuaraKita.org – Sederhananya; Terlihat bahwa lelaki gay yang tertutup lebih cenderung anti-gay. Hal ini secara mengejutkan berlaku kepada sebagian kecil orang-orang tersebut.
Menurut sebuah studi tahun 2012, yang diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology, ada tingkatan homofobia yang lebih tinggi pada mereka yang memiliki perasaan ketertarikan yang tidak diketahui terhadap jenis kelamin yang sama. Tingkat ini diperburuk ketika orang tua dari individu tersebut juga memiliki sikap homofobia.

Netta Weinstein, peneliti utama yang memimpin penelitian tersebut menulis:

“Individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual tapi dalam tes psikologis menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap jenis kelamin yang sama mungkin merasa terancam oleh kaum gay dan lesbian karena homoseksualitas mengingatkan mereka akan kecenderungan serupa di dalam diri mereka”

Menurut peneliti pendamping Richard Ryan: “Dalam banyak kasus, mereka adalah orang-orang yang berperang dengan diri mereka sendiri dan mereka mengubah konflik internal ini secara lahiriah”

“Mereka yang memiliki perbedaan seperti itu, yang benar-benar terbelah antara ketertarikan bawah sadar mereka dan apa yang mereka katakan secara sadar tentang diri mereka sendiri, lebih mungkin berasal dari rumah/keluarga yang otoriter.

Jika Anda orang tua yang benar-benar percaya bahwa anak Anda harus heteroseksual dan bila Anda menggunakan cara apa pun yang Anda bisa untuk meyakinkan mereka bahwa yang seperti itu adalah baik dan layak. Maka hal itu akan terasa sangat berkuasa dan dapat menciptakan banyak konflik pada anak”

Penelitian ini mengukur secara eksplisit (yang kita sadari) dan implisit terhadap ketertarikan seksual (yang tidak kita ketahui atau ketahui), dengan memeriksa perbedaan antara bagaimana orang menggambarkan orientasi seksual mereka, dan bagaimana reaksi mereka selama mengerjakan tugas yang diberikan oleh peneliti secara tepat waktu.

Para peneliti juga mengukur homofobia eksplisit dan implisit, melalui kuesioner dan debat.

Metodologi ini menampilkan kata-kata dan gambar kepada peserta pada layar komputer. Mereka juga ditunjukkan kata-kata ‘saya’ dan ‘orang lain’, sebelum diperlihatkan kata-kata ‘gay’, ‘straight‘, ‘homoseksual’ dan ‘heteroseksual’ serta sejumlah gambar.

Perlu dicatat bahwa penelitian tersebut mengasumsikan bahwa asosiasi yang lebih cepat antara  ‘saya’ dengan ‘gay’ mengindikasikan homoseksualitas implisit.  Yang boleh jadi memiliki kelemahan.

Hasilnya ditemukan bahwa peserta yang kinerjanya dalam tes implisit adalah ‘kurang heteroseksual’ jika dibandingkan dengan bagaimana mereka menggambarkan diri mereka sendiri, mereka cenderung bersikap memusuhi gay.

Dengan kata lain, mereka yang ‘secara implisit homoseksual’ juga lebih cenderung homofobia.

Tidak hanya asumsi metodologi yang lemah, namun para peserta adalah semua mahasiswa, oleh karena itu peneliti menyarankan agar di masa depan, penelitian menguji remaja yang usianya lebih muda terhadap orang dewasa yang lebih tua akan lebih baik, untuk melihat bagaimana perubahan sikap dari waktu ke waktu.

Mereka juga mengakui bahwa sifat korelasional dari temuan tersebut bukan berarti bahwa temuan definitif tidak mungkin ditemukan.

Selain itu, ada sedikit penelitian tentang apa yang mendorong sikap anti-gay; Peneliti mengklaim bahwa penelitian ini adalah yang pertama meneliti peran pola asuh dan orientasi seksual dalam pembentukan homofobia.

Yang mengatakan dalam sebuah penelitian sebelumnya pada tahun 1996 menemukan bahwa lelaki heteroseksual yang homofobik namun teridentifikasi menunjukkan “peningkatan ereksi penis,” sebagai respons terhadap erotika lelaki gay – secara signifikan lebih tinggi ditemukan dibandingkan dengan lelaki heteroseksual non-homofobik. (R.A.W)

Sumber:

indy100

Share Button
Tags
HomofobiahomofobikHomophobiahomophobicHomoseksualitasLGBTlgbt indonesia
tweet
Pemenang 29th Annual Lambda Literary Award Telah Diumumkan
[Puisi] Apa Yang Salah Dengan Cinta Kami ?

Related posts

  • Demo  Pro-Demokrasi Myanmar Menyuarakan Orang-Orang LGBT

    Demo Pro-Demokrasi Myanmar Menyuarakan Orang-Orang LGBT

    8 March 2021

  • Pengadilan Malaysia Memutuskan Larangan Seks LGBT Negara Bagian Selangor Tidak Konstitusional

    Pengadilan Malaysia Memutuskan Larangan Seks LGBT Negara ...

    2 March 2021

  • Pemerintah Selandia Baru Berjanji untuk Melarang Terapi Konversi

    Pemerintah Selandia Baru Berjanji untuk Melarang Terapi ...

    26 February 2021

  • Kelompok LGBT dan Etnis Turun ke Jalan untuk Memprotes Junta Militer Myanmar

    Kelompok LGBT dan Etnis Turun ke Jalan ...

    24 February 2021

  • Seruan Komisi HAM Internasional untuk Pencabutan Hukum Homofobik Jamaika

    Seruan Komisi HAM Internasional untuk Pencabutan Hukum ...

    22 February 2021

Leave a Comment

Click here to cancel reply.

Populer

  • Minang Bukan Islam,Begitu Sebaliknya (Sebuah Tanggapan)

    Minang Bukan Islam,Begitu Sebaliknya (Sebuah Tanggapan)

    4 January 2013
  • Surat Terbuka Kepada Fahira Idris

    20 March 2013
  • Komunitas Gay Protes Pernyataan Khofifah Indar Parawansa

    6 July 2012
  • [Kisah] Aku Seorang Asexual

    [Kisah] Aku Seorang Asexual

    29 October 2015
  • <!--:id-->Ada yang “tidak beres” dengan kritikan Juri Indonesian Idol 2012<!--:-->

    Ada yang “tidak beres” dengan kritikan Juri Indonesian Idol 2012

    5 April 2012
  • youtube
  • twitter
  • facebook
© Copyright 2014, All Rights Reserved.